BERJUANG MELAWAN MIS-REKOGNISI, MAL-DISTRIBUSI, DAN MISREPRESENTASI: POLITIK KEWARGAAN PETANI PENGGARAP MENGHADAPI EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT DI LOLAK, KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
Kata Kunci:
Politik Pengakuan; Politik Redistribusi; Politik Representasi; Politik Kewargaan; Ekspansi Pekebunan Sawit; Petani Penggarap.Abstrak
Indonesia mempunyai sejarah panjang mengenai politik kewargaan. Hal itu setidaknya terlihat dari artikulasi tindakan politik kewargaan dari berbagai periode sejarah, mulai dari menentang kolonialisme zaman Hindia-Belanda, berbagai artikulasi politik berdasrkan preferensi ideologi di masa pasca kemerdekaan, represi dan depolitisasi politik kewargaan masa Orde Baru, hingga kemunculannya kembali pada masa pasa Orde Baru. Seiring dengan itu, diskursus akademik mengenai politik kewargaan bermunculan. Politik kewargaan mencoba menganalisa aktivitas politik warga negara dalam hal politik pengakuan, politik redistribusi, dan politik representasi. Berbagai penelitian sebelumnya secara spesifik hanya mengkaji salah satu elemen saja di dalam politik kewargaan, padahal ketiga elemen itu saling mempengaruhi antara satu dan lainnya. Penelitian ini mencoba mengkaji ketiganya sekaligus. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis aktivitas politik kewargaan para petani penggarap diantara tiga elemen tersebut. Penelitian ini memperlihatkan, di dalam politik pengakuan, ekspansi perkebunan sawit memunculkan eksklusi budaya dan subordinasi identitas, sehingga memunculkan kondisi mis-rekognisi. Dalam politik redistribusi, privatisasi lahan garapan membuat para petani penggarap terisolasi dari sumber daya ekonominya, dan berakibat pada mal-distribusi. Sedangkan dalam politik representasi, usaha memunculkan representasi formal lewat kompetisi elektoral mengalami kegagalan dan tak berdaya mentuntaskan masalah, sehingga para petani penggarap memanfaatkan representasi informal sebagai upaya memperbaiki kondisi mis- representasi.